Perusahaan Penetasan Telur Menjual Telur yang Akan Ditetaskan ke Pasaran

Menyambung cerita dari artikel sebelumnya, yaitu tentang pertanyaan yang diutarakan lewat kolom komentar, tentang apakah kebanyakan telur yang dijual dipasaran adalah jenis telur yang tidak subur atau infertil?

Saya saya ingin membagikan cerita dari salah seorang teman peterak ayam petelur, meskipun cerita ini agak melenceng, tetapi saya rasa ini cerita yang menarik. Jadi pada saat awal terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia pada pertengahan Maret sampai Awal April 2020 yang lalu, pada saat itu terjadi kepanikan masal yang menyebabkan masyarakat memborong banyak bahan pangan, tidak terkecuali telur. Tetapi setelah kepanikan tersebut mereda yang terjadi kemudian adalah lesunya ekonomi karena Indonesia mulai menerapkan PSBB.

Teman peternak telur ayam ini mengatakna bahwa pada saat itu harga telur sangat murah, bahkan meskipun demikian karena daya beli masyarakat yang menurun, maka telur yang dia produksi sedikit tersendat untuk diserap pasar. Karena pemasarannya terhambat, maka banyak peternak yang mulai mengurangi produksi dengan menahan diri untuk tidak membeli bibit ayam yang baru. Pada saat itu harga pakan ayam juga cederung sama seperti sebelum pandemi, tetapi karena penjualan terhambat, maka tetap saja harga pakan ayam menjadi tidak terjangkau bagi peternak.

Ternyata masalahnya tidak sampai di situ saja, karena permintaan bibit dari peternak kecil jumlahnya menurun drastis, maka perusahaan penyedia bibit menjadi khawatir jika jumlah bibit yang mereka hasilkan jumlahnya masih sama, maka nantinya bibit tersebut tidak akan bisa diserap oleh pasar, akibatnya harga anakan ayam akan jatuh. Dan hal ini tidak diinginkan oleh perusahaan.

Untuk menghindari kondisi tersebut, maka pada saat itu teman saya ini mendengar bahwa, perusahaan pembibitan ayam telah menjual sebagian besar telur yang akan mereka tetaskan. Akibatnya memang harga bibit ayam petelur tetap pada posisi yang tinggi, tetapi dengan jumlah telur sebanyak itu dilepas ke pasaran secara bersamaan, maka harga telur di tingkat pedagang kecil dan konsumen akhirnya menjadi sangat murah.

Waktu saya menanyakan apakah kondisi ini juga terjadi pada telur yang akan ditetaskan menjadi anakan ayam pedaging, teman saya ini menjawab tidak tahu. Tetapi jika melihat banyaknya telur ayam yang dilepas ke pasaran jumlahnya sangat banyak, maka mungkin saja telur yang akan menghasilkan anakan ayam pedaging juga ikut dijual ke pasaran.

Imbas dari banyaknya telur yang dilepas ke pasaran yaitu ikut turunnya beberapa bahan pangan lain, seperti daging sapi dan daging ayam, mungkin yang paling banyak penurunannya adalah daging ayam. Jadi, karena harga telur lebih murah, maka orang lebih memilih untuk membeli telur saja, sehingga bahan lain kurang laku, akibatnya harganya ikut turun.

Karena kondisi penuruan harga ini terjadi cukup lama, mungkin bertahan sekitar sebulan lebih. Teman saya ini bercerita bahwa ia sampai mengalami kesulitan keuangan, bahkan sampai harus menjual mobilnya untuk menutupi biaya produksi dan persiapan untuk masa produksi berikutnya. Sialnya juga, ternyata sesaat sebelum pandemi corona itu muncul, beberapa ribu ayam milik teman saya ini mengalami kematian masal, jadinya kerugian yang dialami oleh teman saya ini menjadi semakin lengkap.

Dia menambahkan, bahwa ada teman peternak lainnya, karena tidak memiliki modal lagi untuk menutup kerugian, maka sekarang mereka menutup usahanya dan tidak beternak lagi.

Sekian cerita ulang yang saya dengar dari salah seorang teman yang berprofesi sebagai peternak ayam petelur. Meskipun saya tidak tahu kebenarannya, tetapi menurut saya bahwa yang dia ceritakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.

Tinggalkan Balasan